Wanaloka.com – Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) mengingatkan kepada Pemerintah, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Isinya menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Kemudian MK memberi amanat konstitusional kepada para pembentuk UU, yakni DPR dan Pemerintah untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun. Terhitung sejak UU Cipta Kerja ditetapkan hingga akhir November 2023.
Tiba-tiba Presiden Joko Widodo kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.
“Penerbitan perppu merupakan intrik hukum jahat yang digunakan Pemerintah untuk menggugurkan status inkonstitusional bersyarat yang disematkan pada UU Cipta Kerja,” demikian salah satu catatan PSHK FH UII yang disusun penelitinya, Retno Widiastuti dan Rahmadina Bella Mahmuda dalam siaran pers yang diterima Wanaloka.com tertanggal 6 Januari 2023.
Baca Juga: Alfian Nur Rosyid, Satgas Covid-19 Meluruskan Isu Konspirasi hingga OTG
PSHK pun merekomendasikan Pemerintah untuk mencabut perppu tersebut. Sebab proses penyusunannya inkonstitusional, tidak sesuai dengan konsep perundang-undangan, dan tidak memenuhi kegentingan memaksa.
“Dan DPR agar menolak untuk menyetujui perppu yang diajukan Pemerintah itu,” bunyi rilis tersebut.
Dalam catatan PSHK disebutkan, tindakan Pemerintah mengubah UU Cipta Kerja melalui perppu merupakan bentuk pembangkangan atas tiga amanat putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Pertama, ketiadaan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi perppu. Sementara perppu bukanlah peraturan perundang-undangan yang memiliki mekanisme legislasi yang sama dengan undang-undang yang menyediakan mekanisme partisipasi luas.
Kedua, MK mengamanatkan asas keterbukaan dan prinsip meaningfull participation dalam legislasi perubahan UU Cipta Kerja. Ketiga, perppu menutup ruang pengujian formiil kesediaan partisipasi masyarakat di MK.
Baca Juga: Retno Sari, Atasi Panic Buying dengan Hand Sanitizer dari Daun Sirih
“Perppu tersebut juga disusun dengan menggunakan metode omnibus, yakni memuat materi baru, mengubah dan atau mencabut materi muatan yang ada pada undang-undang lain,” papar rilis itu.
Penggunaan metode omnibus telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Udnang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Artinya, penggunaan metode omnibus untuk menyusun perppu telah melanggar Pasal 42 UU P3.
“Sebab penggunaan metode omnibus haruslah ditetapkan terlebih dahulu dalam dokumen perencanaan. Sedangkan produk hukum perppu menyimpangi tahapan itu,” demikian bunyi rlis.
Baca Juga: Fedik Abdul Ratam, Tantangan Pembuatan Vaksin Inavac dari Alat hingga Dana
Pembentukan perppu harus dilandasi aspek hal ihwal kegentingan yang memaksa. Berdasarkan penafsiran MK melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa harus memenuhi tiga unsur. Pertama, ada keadaan memaksa, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Kedua, ada kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi UU yang disusun dengan prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
“Dari tiga unsur itu tidak ada yang dapat dijadikan alasan Pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja,” bunyi rilis itu.
PSHK juga merekomendasikan Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU perlu segera merumuskan indikator kegentingan memaksa sebagai syarat Presiden dalam menerbitkan Perppu dengan merujuk pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 agar tidak digunakan sewenang-wenang.
Baca Juga: Memantik Pembangunan Museum Covid-19 Lewat Pameran Arsip Unair
Discussion about this post