Wanaloka.com – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki kekayaan alam yang signifikan, termasuk hutan adat dan taman nasional yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat. Namun, beberapa kasus telah menunjukkan bahwa pengelolaan hutan adat dan taman nasional di NTT masih menghadapi berbagai tantangan.
Hutan adat Besipae di Timor Tengah Selatan misalnya, tengah mengalami konflik antara masyarakat adat dan pihak perusahaan yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam di sana. Konflik ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Kehutanan yang berlaku saat ini tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi hak-hak masyarakat adat atas hutan dan sumber daya alam.
Perubahan Status Cagar Alam Mutis ke Taman Nasional Mutis yang terletak di daratan Timor, membatasi partisipasi masyarakat adat menjadi perhatian serius. Hutan adat di Sumba dan pulau-pulau kecil lainnya di NTT juga menghadapi tekanan besar akibat dari tidak diakui keberadaan masyarakat adat melalui Perda Masyarakat Hukum Adat.
Baca juga: Wisata Arung Jeram Perlu Penguatan Keselamatan dan Keamanan
Aktivitas PT Muria Sumba Manis di Kabupaten Sumba Timur menimbulkan berbagai pelanggaran terkait lingkungan hidup berupa perusakan hutan, ladang pertanian dan padang penggembalaan, serta privatisasi air yang merugikan masyarakat. Hutan Bulla seluas 0,58 hektara diokupasi untuk pembangunan embung.
Sementara hutan Mata di Desa Wanga rusak akibat pembangunan embung penadah air sementara di tengah daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan DAS akibat dibendung PT MSM di hulu mengakibatkan kekeringan berkepanjangan dan berimbas kegagalan pertanian masyarakat adat. Sementara sabana sebagai padang penggembalaan hewan masyarakat dialihfungsikan jadi lahan perkebunan tebu.
Di Pulau Flores, kasus hutan adat Bowosie di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT, menjadi sorotan karena proyek pariwisata dan pembangunan infrastruktur yang berpotensi merusak lingkungan dan mengancam hak-hak masyarakat adat. Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPO-LBF) membangun sarana wisata premium di atas 400 hektar hutan yang dikenal sebagai “Parapuar”. Proyek ini menuai protes dari masyarakat dan pemerhati lingkungan karena dianggap merusak ekosistem hutan dan mengancam kehidupan masyarakat sekitar.
Baca juga: Catatan Jatam, Tujuh Tahun Raksasa Industri Nikel Berproduksi dan Sarat Perusakan Lingkungan Hidup
Semua persoalan ini adalah konsekuensi dari watak kolonialisme Undang-Undang Kehutanan saat ini. Masyarakat adat menjadi kelompok yang paling rentan dan harus menanggung beban ganda ekologi dari setiap persoalan alih fungsi kawasan hutan.
Selain itu, pembangunan atas nama kesejahteraan juga mengancam keberlanjutan ekologi, mengingat alih fungsi kawasan hutan juga akan berdampak pada kelangsungan hidup ekosistem di dalamnya. Untuk itu, revisi total Undang-Undang Kehutanan untuk perlindungan sosial ekologis menjadi penting untuk didorong.
Sepakat revisi total UU Kehutanan
Masyarakat adat, kelompok masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, dan anggota DPRD Sumba sepakat bahwa mengubah total UU Kehutanan saat ini adalah upaya untuk menyelesaikan konflik tenurial yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) secara umum dan pulau Sumba secara khusus.
Baca juga: Kata Pakar Soal MBG, Keracunan Berulang hingga Dugaan Food Tray Mengandung Minyak Babi
Mengingat UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 terbukti gagal secara filosofis, sosiologis dan yuridis untuk menjawab kelestarian hutan dan pemenuhan hak masyarakat adat di NTT. Dibutuhkan UU Kehutanan baru yang bisa menjawab persoalan sosial-ekologis hari ini dan mampu menjawab kebutuhan generasi mendatang di tengah situasi krisis iklim yang kian parah.
Desakan untuk mengubah total UU Kehutanan tersebut disampaikan dalam resolusi “Suara dari Pulau Sumba: Ubah Total UU Kehutanan dan Segera Sahkan UU Masyarakat Adat” yang disusun dan dideklarasikan Aliansi Selamatkan Hutan Adat di NTT saat diskusi publik bertema “Urgensi Revisi Total Undang-Undang Kehutanan untuk Perlindungan Nusa Tenggara Timur”. Acara yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT itu merupakan rangkaian pra- Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup Indonesia (PNLH) XIV di Pulau Sumba, Kamis, 28 Agustus 2025.
Wakil Bupati Sumba Timur Yonathan Hani menyampaikan apresiasi atas diskusi publik yang membicarakan tentang keberlanjutan hutan di Sumba ini, agar kebijakan yang diambil pemerintah dapat tepat dengan kebutuhan masyarakat dan keberlanjutannya.
Baca juga: Tim Ekspedisi Riset Bawa Pulang Rekaman Data Misteri Kegempaan di Samudra Hindia
“Kami tidak tertinggal untuk pengetahuan tentang alam dan ekologis. Bagimana kehidupan kami, kehidupan Marapu sangat dekat dengan alam dan hutan. Kami sebagai orang Sumba menganggap hutan sebagai kehidupan, tanah sebagai ibu, dan itu adalah pengetahuan alam yang tidak diajarkan dalam kehidupan modern,” kata Yonathan saat memembuka acara.
Hutan juga bukan hanya sebagai sumber kehidupan, tetapi juga bagian dari manusia berterimakasih kepada Sang Pencipta lewat ritual dan lewat doa. Setiap tiang rumah yang berdiri kokoh, setiap alang, setiap papan tempat tidur, semuanya berasal dari hutan. Dan setiap manusia yang ingin mengambilnya berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Saya memaknai PNLH dan penetapan hari keadilan ekologis ini ingin mengatakan bahwa kami, masyarakat Sumba sudah siap menjadi ekologi kita,” tegas Yonathan.
Baca juga: Tahun 2029 Target Populasi Kedua Badak Jawa Hasil Translokasi dari Ujung Kulon ke JRSCA
Triawan Umbu Uli Mehakati dari Yayasan Koppesda, salah satu organisasi anggota Walhi NTT menambahkan, pengelolaan berbasis pengetahuan adat bisa menjadi solusi bijak mengelola sumber daya alam termasuk perlindungan hutan. Seharusnya pula menjadi hal yang diakomodasi dalam revisi UU Kehutanan.
Hal ini sangat mendasar, sehingga tidak bisa hanya revisi beberapa pasal saja, tetapi harus ada pengubahan total UU Kehutanan. Selain itu, yang penting juga saat ini adalah Undang-Undang Masyarakat Adat.
“Jika Undang-Undang Masyarakat Adat telah disahkan, maka revisi total Undang-Undang Kehutanan nanti bisa menyinkronkan substansi pengaturannya dengan UU Masyarakat Adat,” kata Triawan.
Baca juga: UU Cipta Kerja yang Melegitimasi Perampasan Ruang Hidup Digugat di MK
Discussion about this post