Wanaloka.com – Menteri Energi dari berbagai negara di Asia Tenggara atau ASEAN telah berkumpul di Nusa Dua, Bali pada 24-25 Agustus 2023 dalam rangka menghadiri 41st ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) untuk membahas isu ketahanan energi ASEAN. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, Arifin Tasrif menyatakan ada tiga pilar energi yang hendak dicapai negara-negara ASEAN melalui pertemuan tersebut, yaitu keberlanjutan, keamanan, dan interkonektivitas. Indonesia mendorong gagasan peningkatan interkonektivitas pasokan energi di ASEAN melalui Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) dan ASEAN Power Grid (APG) untuk mewujudkan capaian itu.
KEKAL (Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup) Bali, FRONTIER (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Bali, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai pilihan dorongan untuk memajukan TAGP adalah hal yang ironis. Kontradiktif dengan tujuan perhelatan tersebut yang menegaskan kembali komitmen ASEAN untuk mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi energi yang adil dan inklusif di regional ASEAN.
Mengapa?
Baca Juga: Perusahaan Listrik ASEAN Bahas Interkoneksi Transisi Energi, PLN: Bagaimana Caranya?
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Eksekutif Nasional, Fanny Tri Jambore menyatakan rencana perluasan infrastruktur gas dan LNG saat ini justru akan meningkatkan emisi pada tingkat yang berbahaya. Hasil penelitian C40 telah menunjukkan penggunaan gas fosil untuk pembangkit listrik, pemanas pada gedung, dan industri memberikan kontribusi kematian dini yang hampir sama dengan penggunaan batu bara di 96 kota di seluruh dunia pada tahun 2020.
“Komponen terbesar dari gas fosil adalah metana. Gas rumah kaca terkuat kedua setelah karbon dioksida dalam hal seberapa besar kontribusinya terhadap pemanasan global,” papar Fanny dalam siaran pers yang diterima Wanaloka.com pada 25 Agustus 2023.
Dengan berkaca pada situasi ini, promosi gas sebagai transisi energi membawa ASEAN pada solusi yang menyesatkan.
Baca Juga: Jawa Barat Daerah Tertinggi Dilanda Bencana 2023
“Sudah seharusnya Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya menghentikan penggunaan energi fosil. Mulai meningkatkan pembangkit listrik berbasis energi bersih, terbarukan, dan berkeadilan, bukannya terjebak pada solusi-solusi palsu,” imbuh Fanny.
Padahal transisi penggunaan energi kotor menuju energi bersih adalah komitmen segenap negara di dunia untuk menjaga suhu bumi di 1.5 derajat celcius. Komitmen itu diadopsi dalam Kesepakatan Paris, Konvensi Perubahan Iklim.
Bali sebagai destinasi yang acapkali selalu dijadikan tempat pertemuan internasional seharusnya mampu membuat kebijakan. Bahkan menjadi contoh praktik transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan berbasiskan pada sumber.
Baca Juga: Menunggu 21 Tahun Dokumen Pendirian Pengendalian Pencemaran Asap ASEAN Diserahkan
Divisi Advokasi KEKAL Bali Made Juli Untung Pratama menyebutkan salah satu peraturan dalam Perda Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali Tahun 2020-2050 dalam lampiran II halaman 1 tercatat, bahwa Bali memiliki potensi energi bersih dan berkelanjutan. Meliputi potensi panas bumi 262 MW; potensi mini/mikro hidro 15 MW; potensi bioenergi 191,6 MW; potensi surya 1.254 MW; potensi angin 1.019 MW; potensi air 208 MW; dan potensi laut 320 MW.
Discussion about this post