Wanaloka.com – Masalah lingkungan tengah menjadi perhatian banyak pihak. Menyusul laporan Berkeley Earth, pada 2023 suhu udara telah meningkat lebih dari 1,5 derajat celcius di atas suhu udara pada era pra-industri. Istilah-istilah pemanasan global, perubahan iklim, cuaca ekstrem, banjir bandang, serta tanah longsor yang menceritakan perburukan kondisi bumi sering ditemui di berbagai media.
Sementara persepsi manusia mengenai lingkungan diperoleh melalui bahasa, sehingga keterlibatan ahli linguistik dalam upaya penyelamatan lingkungan juga dibutuhkan. Ahli linguistik dibutuhkan perannya untuk mempelajari bahasa dalam konteks sosial dan budaya penuturnya.
“Para ahli linguistik ini bertugas untuk membangun wacana positif yang dapat menyadarkan penutur bahasa peduli terhadap lingkungan dengan pemakaian leksikon, konstruksi sintaksis, dan berbagai aspek lainnya,” tutur Dosen Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada, Prof. Suhandano yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Linguistik Antropologis, Selasa, 11 Februari 2025.
Baca juga: Pencabutan 18 PBPH Diduga Akibat Potensi Hutan Jauh Menurun
Dalam pidatonya, Suhandana menyampaikan hubungan antara bahasa dan lingkungan menjadi objek kajian cabang linguistik yang disebut ekolinguistik. Di Indonesia, studi ekolinguistik ini dikelompokkan berdasarkan keragaman bahasa, kearifan lokal terhadap lingkungan, kepunahan bahasa, dan kesadaran ekologis.
“Wacana pemberitaan media massa juga perlu dianalisa dalam perspektif ekolinguistik karena pengaruhnya besar terhadap opini publik,” jelas dia.
Ia mengambil contoh penelitian tentang wacana pemberitaan perubahan iklim di media massa dalam 10 tahun terakhir. Bahwa perubahan iklim masih didudukkan sebagai isu global yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan organisasi internasional.
Baca juga: Dampak Cuaca Ekstrem hingga 11 Februari 2025 Sebanyak 85 Orang Tewas
Discussion about this post