Baca Juga: Fahrul Muzaqqi, Ormas yang Terima Konsesi Tambang akan Punya Utang Politik
Kendati tren kejadian bencana naik, namun tingkat risikonya cenderung turun. Hal itu ditengarai ada upaya mitigasi, kesiapsiagaan dan peringatan dini dilakukan secara maksimal dan sinergi antara masyarakat dan pemerintah semakin baik.
Tahun 2023 jumlah bencana di Indonesia mencapai 5.400 kejadian. Rata-rata terjadi 20 bencana terjadi setiap hari. Kemudian 2024 ini juga masih terjadi 1.000 bencana pada Juni ini. Angkanya naik terus setiap tahun.
“Karena manusia semakin banyak, lingkungan daya dukungnya juga semakin sempit belum lagi perubahan iklim juga luar biasa. Namun jumlah risikonya menurun karena kami bersatu padu untuk mengurangi risikonya,” papar Suharyanto.
Baca Juga: Guncangan Gempa Laut Banda 6,0 Magnitudo Dirasakan Skala IV MMI
Menurut catatan BNPB, tren kejadian bencana dampak erupsi gunungapi meningkat di tahun 2024. Suharyanto menceritakan bagaimana BNPB turun ke sejumlah lokasi untuk penanganan darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Di 2024 ini yang menonjol kejadian gunung ini juga luar biasa,” ungkap Suharyanto.
Mulai dari Gunung Marapi di Sumatera Barat, ia menceritakan bagaimana bencana sekunder yang terjadi sekitar dua bulan lalu. Kemudian menelan korban hingga 72 orang termasuk kerugian materil lainnya.
Baca Juga: Kepala BNPB Mendengar Kisah Komunitas Lingkungan Mengelola Tukad Bindu di Bali
Menurut hasil kaji cepat, kawasan Gunung Marapi baru memiliki dua sabo dam untuk banjir lahar hujan gunungapi. Hal itu menjadi salah satu faktor penyebab petaka yang ada di sana. Hingga tahun 2026 pemerintah menargetkan untuk membangun sabo dam di 56 titik. Angka itu masih jauh jika dibanding dengan keberadaan sabo dam di kawasan Gunung Merapi yang mana hingga saat ini sudah ada sebanyak 200 lebih sabo dam sebagai jalur lahar.
“Di sana ada penghambat aliran lahar atau sabo dam. Jumlah di Marapi baru dua. Kami bangun sampai 2026 rencananya ada 56 sabo dam,” jelas Suharyanto.
Selanjutnya Gunung Ruang di Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara. Suharyanto mengenang, jika pada saat itu pemerintah terlambat memberikan informasi peringatan dini dan tidak segera mengevakuasi warga, maka kemungkinan besar akan jatuh korban jiwa.
Baca Juga: Situs Ramsar ke-8 di Indonesia, Lahan Basah TWA Menipo Langka dan Unik
“Hitungannya jam. Terlambat sedikit kami memberikan informasi dan mengevakuasi masyarkaat pasti ada korban. Karena di sana masih ada yang tinggal di kaki gunung sebanyak 830-an orang. Ada dua kampung habis disapu erupsi,” kenang Suharyanto.
Berikutnya erupsi Gunungapi Ibu di Halmahera Barat, Maluku Utara. Meski saat ini status sudah turun menjadi level III, namun pemerintah daerah setempat sempat dibuat kepayang melakukan upaya penanganan darurat.
“Gunung Ibu ada 1500 KK yang mengungsi. Kalau dilihat ya jauh dari bapak-ibu sekalian dari pemahamannya, kesiapannya dan segala macamnya,” kata Suharyanto.
Baca Juga: WHO Rilis Virus Flu Burung Terdeteksi di India, Ini Pesan Kemenkes dan Mantan Menkes
Kemudian wilayah Nusa Tenggara Timur ada Gunungapi Lewotobi Laki-Laki dan Ile Lewotolok yang saat ini masih mengalami erupsi dan berstatus level III atau “Siaga”. Semua itu pernah dikunjungi Suharyanto. Dari rentetan kejadian erupsi itu, masyarakat Gunung Merapi dinilai lebih siap dan patut dijadikan role model untuk peningkatan kesiapsiagaan hingga penanganan daruratnya.
“Seluruh gunung berapi di Indonesia, yang menjadi terbaik, mulai pemantauannya, pemasangan alat hingga kesiapsiagaannya ini ya di Gunung Merapi ini. Walaupun tadi dilaporkan masih ada kekurangan dan kelemahan. Itu pasti. Tetapi jika dibanding kesiapsiagaan masyarakat gunung lain ya jauh,” jelas Suharyanto.
Jangan Melawan Kodrat Alam
Menyikapi dari seluruh rentetan kejadian bencana erupsi gunungapi di Tanah Air dalam semester pertama tahun 2024, Suharyanto meminta agar masyarakat tetap meningkatkan kewaspadaannya sebagai bentuk upaya kesiapsiagaan.
Baca Juga: Cegah Bencana Kebakaran dengan TMC, OMC atau Water Bombing
Di sisi lain, dia juga meminta agar masyarakat tidak melawan apa yang sudah menjadi kodrat alam dan selalu mengikuti anjuran pemerintah. Suharyanto kemudian mencontohkan bagaimana erupsi Gunung Semeru kembali menelan korban jiwa karena masyarakat mengabaikan anjuran pemerintah.
Gunung Semeru meletus 2021 itu ada 57 meninggal dunia. Meletus lagi 2022, tetapi tidak ada yang korban jiwa karena sudah dievakuasi dan direlokasi. Ada 2000 KK yang direlokasi. Tahun 2023 ada banjir lahar. Ada korban satu keluarga karena sudah direlokasi tapi main-main kembali di rumah lamanya.
“Cari pasir di situ, tiba-tiba ada banjir bandang lahar hujan. Kalau kita melawan alam atau melanggar yang sudah digariskan, ada akibatnya yang harus ditangung. Ini juga harus disikapi untuk tetap tenang, waspada dan jangan sembrono,” tegas dia.
Baca Juga: Dua Kali Erupsi Menyusul Penurunan Status Gunung Ibu Jadi Siaga
Suharyanto menitipkan pesan agar yang sudah terbentuk mulai dari pemahaman literasi, kesiapsiagaan dan mitigasi warga sekitar Gunung Merapi tetap dipertahankan dan dilanjutkan. Sebab menjadi dasar utama dari seluruh rangkaian penanganan bencana, sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo bahwa upaya pencegahan harus menjadi dasar utama dalam pengurangan risiko bencana di Tanah Air.
“Tadi saya sudah melihat peragaannya. Beberapa kali saya melihat kesiapan masyarakat di Gunung Merapi ini saya mohon ini dipertahankan. Karena ini menjadi rujukan bagi masyarakat lain di gunungapi,” pungkas Suharyanto. [WLC02]
Sumber: BNPB
Discussion about this post