Baca juga: Lilis Sulistyorini, Risiko Kesehatan Akibat Mikroplastik adalah Nyata dan Terukur
“Selama ini, kami akui pengakuan atas tanah adat sangat sulit. Bahkan meski sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi, tetap saja prosesnya berbelit karena harus melalui Perda. Kami akan dorong agar ada tim terpadu yang meninjau langsung ke lapangan dan hasilnya dilaporkan ke Komisi IV. DPR akan memberikan rekomendasi kepada menteri agar izinnya segera dikeluarkan,” ujar Darori.
Ia juga mengkritik tata kelola alih fungsi hutan yang dinilai meleset dari semangat konservasi.
“Sekarang sawit disita, tapi tetap jadi kebun sawit. Hutan yang disita harus dikembalikan ke fungsi hutannya. Harus ada pendekatan kreatif seperti sistem tanam campur, misalnya dua baris sawit satu baris tanaman Meranti. Kalau konsisten, 30 tahun ke depan kita punya 3 juta hektare tanaman ranti,” papar dia.
Baca juga: Apa Rahasia Seduhan Kopi Tubruk Terasa Lebih Nendang?
Ia juga menyoroti ketimpangan pengelolaan hutan di Pulau Jawa, terutama di dalam kawasan Perhutani. Ia mendorong agar masyarakat sekitar yang jumlahnya mencapai 3.600 desa dilibatkan secara lebih adil melalui skema perhutanan sosial.
“Kami usulkan pembagian hasil perhutanan sosial itu. Sebanyak 70 persen untuk rakyat, 20 persen untuk Perhutani sebagai pemilik kawasan, dan 10 persen untuk kas desa,” jelas dia.
Ia juga mengungkapkan sebagian besar Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sudah tidak beroperasi. Akibatnya terjadi ketimpangan lahan antara perkebunan besar dan masyarakat. Ia menyatakan pengelolaan kawasan hutan seharusnya tidak didominasi kepentingan korporasi semata, tetapi harus memprioritaskan kesejahteraan rakyat.
Baca juga: Karangsambung, Laboratorium Alam yang Rekam Sejarah Geologi Pulau Jawa
Darori juga menyinggung pentingnya penguatan ketentuan tentang data inventarisasi hutan, termasuk penetapan tata batas kawasan yang masih belum konsisten di berbagai wilayah.
“Inventarisasi itu bukan hanya dari peta. Harus lihat langsung ke lapangan. Mana yang konservasi, mana yang produksi, dan mana yang sudah rusak. Kalau rakyat sudah bangun rumah di lahan selama bertahun-tahun, jangan tiba-tiba disalahkan karena datanya enggak akurat,” papar dia.
Terkait dengan pendanaan, politisi dari Fraksi Partai Gerindra itu mendorong agar RUU ini memuat skema pendanaan konservasi dan rehabilitasi hutan secara khusus. Perlu ada dana konservasi, seperti di Korea Selatan yang hutannya pernah rusak parah, namun kini berhasil dipulihkan dengan sistem pendanaan jangka panjang.
Baca juga: Ada Keberlanjutan Ekonomi Masyarakat dari Dampak Konservasi Kekayaan Hayati
“Dana konservasi dan rehabilitasi harus dikelola terbuka. Bisa digunakan oleh perguruan tinggi, LSM, dan bukan semata-mata pemerintah. Kementerian cukup membuat regulasinya,” ucap alumni Fakultas Kehutanan UGM ini.
Nilai ekologi dan keadilan sosial
Anggota Komisi IV DPR, Johan Rosihan menyampaikan sejumlah pandangan strategis dalam kegiatan penjaringan pendapat penyusunan RUU Kehutanan. Ia menekankan pentingnya memasukkan nilai-nilai ekologi dan keadilan sosial dalam revisi.
Mengingat absennya ketentuan yang memuat prinsip daya dukung lingkungan, seperti ketentuan lama soal batas minimum 30 persen tutupan hutan dalam suatu wilayah.
Baca juga: Anna Fatchiya, Program Adaptasi Dampak Perubahan Ikim Gagal Tanpa Libatkan Perempuan Petani
“Saya sempat menyampaikan ke kementerian agar menghidupkan kembali angka 30 persen ini. Tapi saya ditegur bahwa itu harus mengubah Undang-Undang Cipta Kerja. Saya coba diskusi dengan pakar-pakar legal drafting, dan saya dapat dua opsi. Salah satunya menghidupkan ruhnya, bukan angkanya, melalui diksi minimal tidak di bawah daya dukung ekologi,” ujar Johan.
Paradigma pengelolaan hutan Indonesia perlu mengalami pergeseran fundamental. Pengelolaan hutan tidak cukup hanya menggunakan pendekatan berbasis kayu dan izin usaha, melainkan harus mencakup jasa lingkungan seperti karbon dan air.
“Saya pikir, revisi ini harus melampaui paradigma kayu. Kita sudah harus masuk ke nilai karbon dan jasa ekosistem lainnya,” tegas Johan.
Baca juga: Menolak Tambang, Masyarakat Adat Halmahera Timur Alami Represi Polisi
Menyoroti masukan dari para akademisi, Johan membandingkan proses penyusunan RUU Kehutanan ini dengan pengalamannya saat terlibat dalam revisi UU Kelautan.
Saat itu, DPR hanya ingin menambahkan satu pasal soal Badan Keamanan Laut (Bakamla). Namun usai mendengar para pakar, justru undang-undang itu berkembang jauh karena kondisi kerusakan laut yang parah.
“Saya khawatir, kalau kami batasi revisi ini hanya dari sisi sempit, kami kehilangan momentum untuk pembaruan total sistem kehutanan,” jelas politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Baca juga: Neng Eem, Nasib Masyarakat Adat Terlunta-lunta di Tanah Sendiri
Ia pun membuka kemungkinan revisi ini bisa bertransformasi menjadi penyusunan undang-undang baru apabila substansinya berkembang melebihi 60 persen. Terutama kalau ruhnya diubah dan substansinya bertambah signifikan.
Isu penguatan kelembagaan hutan adat juga menjadi sorotan Johan. Ia mengingatkan penetapan hutan adat melalui peraturan daerah kerap kali tidak lepas dari tarik-menarik kepentingan politik di daerah.
“Kalau kita sadar, politisnya perda sangat kuat. Politik daerah itu jauh lebih keras dibanding pusat, ruangnya sempit, tarik-menariknya sangat kuat,” ujar dia.
Baca juga: Bulan Purnama, Waspada Potensi Banjir Rob di Pesisir Surabaya Hingga 5 Mei 2025
Johan menekankan perlunya kebijakan yang melindungi keberadaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat tapak/lapangan. Ada kekhawatiran terhadap rencana beberapa pemda yang ingin menggabungkan atau menghapus KPH yang telah berjalan.
“KPH di kampung saya di Sumbawa dari semula 14 sekarang mau dijadikan hanya 7. Bahkan satu pulau hanya satu KPH. Kamiperlu moratorium atas intervensi terhadap kelembagaan KPH sambil menunggu revisi UU ini,” tegas dia.
Sejumlah poin seperti pengakuan hukum terhadap hutan adat, penataan status kawasan hutan, dan penguatan inventarisasi kehutanan berbasis digital menjadi isu krusial yang terus didalami. Johan menyambut baik hal tersebut dan mendorong agar semua masukan tidak hanya berhenti pada tingkat diskusi, tetapi benar-benar diakomodasi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan draf final RUU.
“Forum seperti ini penting bukan hanya untuk mendengarkan, tetapi juga untuk memperbaiki arah kebijakan kehutanan ke depan. Kami tidak boleh mengulangi kesalahan lama yang meminggirkan rakyat dan merusak lingkungan,” janji Johan. [WLC02]
Sumber: DPR
Discussion about this post