Wanaloka.com – Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengingatkan, rencana proyek 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi akan menjadi proyek legalisasi deforestasi yang memicu kiamat ekologis. Lingkungan dan keselamatan rakyat Indonesia akan dipertaruhkan. Sebab, pembukaan 20 juta hektare hutan akan melepaskan emisi dalam skala sangat besar dan akhirnya menyebabkan bencana ekologis, kekeringan, mendidih global, gagal panen, dan zoonosis. Masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan di mana proyek ini beroperasi akan tergusur, sedangkan masyarakat yang hidup di pesisir akan menjadi pengungsi iklim.
Dampak lainnya adalah kerusakan biodiversitas, konflik agraria, yang tentunya diikuti dengan kekerasan dan kriminalisasi akibat pendekatan keamanan dalam memastikan jalannya rencana dan program ini. Pembukaan 20 juta hektare juga semakin memperparah persoalan kebakaran hutan lahan, apabila hutan-hutan tersebut juga merupakan kawasan gambut.
“Kementerian Kehutanan itu seyogyanya wali dari hutan-hutan kita. Sebagai wali, harusnya kementerian ini lah yang paling depan menghadang rencana pembongkaran hutan, bukan justru merencanakan pembongkaran hutan dan melegitimasinya atas nama pangan dan energi. Artinya, Presiden dan Menteri Kehutanan tidak memahami tugas dan tanggung jawab mereka,” kata Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian.
Baca juga: Pohon Sawit Diklaim Tak Sebabkan Deforestasi, Walhi Nilai Prabowo Anti Sains
Saat ini, hutan seluas 33 juta hektare telah dibebani izin di sektor kehutanan. Bukan hanya itu, 4,5 juta hektare konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Dan 7,3 juta hektare hutan sudah dilepaskan, di mana 70 persennya untuk perkebunan sawit.
Penguasaan hutan-hutan oleh korporasi ini telah melahirkan banyak persoalan dan krisis yang sulit untuk dipulihkan. Alih-alih melakukan penegakan hukum dan menagih pertanggungjawaban korporasi, justru pemerintah terus tunduk pada kepentingan korporasi dengan melegalisasi pengrusakan hutan.
“Narasi pemerintah untuk memastikan swasembada pangan dan energi hanya sebagai tempelan untuk melegitimasi penyerahan lahan secara besar-besaran kepada korporasi. Dan untuk memastikan bisnis pangan dan energi bisa terus membesar serta meluas,” imbuh Uli.
Baca juga: Gempa Pertama 2025 Dirasakan di Barat Laut Dompu, Terakhir 2024 di Kolaka Timur
Selama pangan dan energi masih diletakkan dalam kerangka bisnis, tidak akan pernah ada keadilan bagi rakyat dan lingkungan. Yang ada hanya menambah persoalan dan mempertajam krisis sosial ekologis. Pangan dan energi adalah hak, sehingga tugas negara adalah memastikan hak tersebut terpenuhi.
Discussion about this post