Wanaloka.com – Presiden Joko Widodo menyebutkan Indonesia akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 dalam pidato Pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 Dubai, Uni Emirat Arab pada Jumat, 1 Desember 2023. Ia juga mengklaim berbagai keberhasilan Indonesia mulai dari pengurangan emisi sebesar 42 persen, pengurangan angka deforestasi, transisi energi, hingga transisi ekonomi berkelanjutan.
“Wahana Lingkungan Hidup menilai klaim-klaim keberhasilan tersebut dilebih-lebihkan. Bahkan kontradiktif dengan kebijakan dan aksi iklim yang sedang dijalankan pemerintah,” kata Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi, Tri Jambore.
Kontradiksi Pertama
Target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat tidak akan pernah terwujud dengan model ekonomi ekstraktif tinggi emisi yang selama ini dijalankan sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Doni Monardo, Pencetus Jargon “Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita” Itu Berpulang
Fakta menunjukkan, model ekonomi ekstraktif telah menyebabkan krisis iklim, konflik sosial, perampasan ruang hidup rakyat dan melipatgandakan bencana ekologis yang mengancam ekonomi dan keselamatan rakyat. Model ekonomi ekstraktif seperti hilirisasi pertambangan nikel masih akan dilanjutkan negara seperti terllihat dalam dokumen rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
“Model ekonomi ekstraktif ini membuat target NZE pada 2060 atau lebih cepat, seperti mimpi di siang bolong,” tukas Tri Jambore.
Selama 20 tahun terakhir, emisi sektor energi di Indonesia telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar ke-9 di dunia.
Baca Juga: Erupsi Gunung Marapi, 11 Pendaki Ditemukan Tewas
Ekstraksi pertambangan nikel juga menyebabkan deforestasi hingga 25.000 hektare dalam 20 tahun terakhir. Bahkan akan terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektar yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2.
Kontradiksi Kedua
Keberhasilan penurunan emisi sebesar 42 persen pada tahun 2020-2022 dibandingkan BAU tahun 2015 adalah manipulasi angka melalui teknik cherry picking. Emisi pada tahun 2015 adalah emisi tertinggi pada rentang periode tahun 2000-2020. Laporan IGRK (Inventarisasi Gas Rumah Kaca) KLHK sendiri menyebut emisi pada 2015 mencapai 2.339.650 gigaton CO2e.
Emisi tertinggi bersumber dari kebakaran hutan dan lahan, terutama pada ekosistem gambut. Pada tahun-tahun berikutnya, kecuali tahun 2019, emisi berkisar di bawah 1,5 juta gigaton CO2e.
Baca Juga: Pertambangan Batu Bara Masih Idola dan Dipermudah, Meski Nol Emisi Jadi Target
“Seharusnya klaim pengurangan emisi didasarkan pada BAU tahun tanpa kebakaran hutan dan lahan, terutama di ekosistem gambut,” kata Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta.
Pada 2020-2022 juga masuk dalam tahun pandemi yang menurunkan cukup signifikan emisi di beberapa sektor. Angka keberhasilan penurunan emisi yang seharusnya dicapai pemerintah sesuai dengan dokumen NDC sebesar 31 persen (BAU) dan 43 persen dengan dukungan internasional dalam jumlah emisi tahunan, harus menjadi 890.000 gigaton CO2e dan 741.000 gigaton CO2e.
Kontradiksi Ketiga
Pidato Jokowi mengenai agenda mengurangi kemiskinan dan ketimpangan takkan terwujud pada tahun 2060 apabilatetap mempertahankan eksploitasi sumber daya alam sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dalam rancangan akhir RPJPN 2025-2045 sebesar 6-7 persen malah akan melanggengkan kemiskinan masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Letusan Gunung Marapi Sumbar Sejumlah Kecamatan Diselimuti Abu Vulkanis
Sebab, beragam kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah Indonesia justru memperburuk kehidupan masyarakat. Terutama kehidupan kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, petani, nelayan, masyarakat adat dan lainnya.
Kemiskinan nelayan desa-desa pesisir di Indonesia menggambarkan hal tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada tahun 2022 mencapai 17,74 juta jiwa. Sebanyak 3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Jika penduduk miskin di Indonesia pada 2022 berjumlah 26 juta jiwa (data September 2022 adalah 26,16 juta jiwa), maka kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia.
“Pada masa mendatang, situasi akan semakin memburuk akibat krisis iklim,” tukas Pengkampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil Walhi, Parid Ridwanuddin.
Baca Juga: Butuh Anjing Pelacak untuk Pencarian 11 Korban Banjir Bandang Humbahas
Penelitian Litbang Kompas (2023) menyebut, pada tahun 2030 jumlah nelayan (dan juga petani) sebanyak 926.492 orang akan meninggalkan pekerjaannya saat ini akibat krisis iklim maupun proyek-proyek iklim. Angka ini merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Indonesia sebagai negara bahari sekaligus kepulauan terbesar di dunia.
Klaim Percepatan EBT dan Penurunan Industri Batu Bara
Sementara dua klaim Jokowi tentang transisi energi, yakni mempercepat penggunaan energi terbarukan dan menurunkan penggunaan batu bara juga klaim yang tidak menginjak realita
Mengingat bauran energi terbarukan di Indonesia masih tidak beranjak dari angka 12 persen, di mana masih jauh dari target pemerintah sendiri untuk mencapai bauran 23 persen pada 2025. Apalagi jika untuk selaras dengan target iklim 1,5 derajat Celcius sesuai Perjanjian Paris sebagaimana sudah diskenariokan Badan Energi Internasional (IEA) misalnya, bahwa bauran energi terbarukan Indonesia harusnya mencapai 60 persen pada 2030.
Baca Juga: Banjir Bandang Bawa Bebatuan Besar di Humbang Hasundutan, 12 Warga Hilang
Klaim penurunan penggunaan batu bara di Indonesia juga bertolak belakang dengan kenyataan bahwa Kementerian ESDM sendiri menyebut kontrak panjang penggunaan batu bara dengan PLTU baru akan mencapai puncaknya hingga tahun 2035. Permen ESDM Nomor 9/2023 justru menargetkan produksi batu bara akan terus digenjot tiap tahun (2021: 609 juta ton; 2022: 618 juta ton; 2023: 625 juta ton; 2024: 628 juta ton). Sementara untuk kebutuhan batu bara domestik (Domestic Market Obligation/ DMO) juga ditargetkan akan terus mengalami kenaikan (2021: 168 juta ton; 2022: 177 juta ton; 2023: 184 juta ton; 2024: 187 juta ton).
Begitu pun angan-angan pengurangan PLTU Batu bara. Meskipun Perpres Nomor 112 Tahun 2022 melarang pengembangan PLTU baru, tetapi PLTU-PLTU Captive terus tumbuh bak jamur musim hujan. Laporan CREA dan GEM (2023) menyebut dalam 10 tahun terakhir, kapasitas PLTU Captive meningkat hampir dua kali lipat dari 1,4 gigawatt (GW) pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023. Angka itu masih akan bertambah hingga 14,4 GW mengingat beberapa proyek masih dalam tahap konstruksi dan pengusulan.
Solusi Sesat Atasi Krisis Iklim
Pernyataan Jokowi yang menyebut bahwa upaya pemerintah Indonesia mengatasi krisis iklim adalah dengan menyiapkan platform pembiayaan, bursa karbon, mekanisme transisi, dan dana lingkungan hidup dari result based payment justru menunjukkan lemahnya diplomasi iklim Indonesia. Platform pembiayaan dan mekanisme transisi energi di Indonesia dipenuhi dengan beban utang baru.
Baca Juga: Hujan Abu di Boyolali dan Magelang Akibat Awan Panas Merapi 2 Kilometer
Sebanyak 99 persen dari komitmen transisi energi melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang sebesar 20 miliar dolar AS atau setara 300 triliun rupiah hadir dalam bentuk utang. Menerima skema pendanaan transisi yang dipenuhi skema utang akan berakhir menjadi beban berlapis bagi pemerintah.
“Pertama, mereka harus menerima investasi dengan beban besar untuk membangun infrastruktur energi fosil. Lalu disodori skema transisi energi yang penuh utang baru,” tegas Parid.
Discussion about this post