Wanaloka.com – Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen menangani krisis iklim dengan menyusun dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), mulai dari NDC Pertama (First NDC), Updated NDC, hingga yang terbaru, Enhanced NDC. Namun, 32 lembaga perwakilan masyarakat sipil yang banyak bergerak dalam persoalan krisis iklim menilai, bahwa penyusunan dokumen NDC di Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan prinsip transparansi dan partisipasi yang inklusif dan bermakna. Terutama bagi masyarakat terdampak dan pihak-pihak non-pemerintah pusat yang lazim disebut sebagai Non-Party Stakeholders (NPS).
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad memaparkan bahwa dalam momentum penyusunan dokumen Second NDC (SNDC), Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah serius untuk melibatkan kelompok yang paling berisiko terkena dampak perubahan iklim, seperti nelayan tradisional, petani, masyarakat adat, perempuan, orang dengan disabilitas, anak-anak dan lansia dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim di Indonesia.
Juga memuat komitmen yang konkrit dan dilakukan melalui proses partisipatif, inklusif, dan adil. Perlu dimensi keadilan iklim yang mencakup keadilan distributif, keadilan rekognitif, keadilan prosedural, keadilan restoratif-korektif, dan keadilan gender untuk mencapainya.
Baca Juga: Riset BRIN, Kratom Berpotensi Manfaat untuk Bahan Baku Obat Kanker
“Semestinya itu otomatis dilakukan dan disediakan pemerintah untuk pemenuhan hak asasi kepada warga negara sebagaimana dimandatkan konstitusi. Jadi dokumen NDC Kedua Indonesia ini seharusnya tidak hanya ambisius,” kata Nadia dalam siaran pers terkait Surat Terbuka Lindungi Rakyat Indonesia Hari Ini dan Esok: Pastikan Partisipasi Bermakna dalam Penyusunan Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC) tertanggal 28 Juni 2024.
Sementara perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, gelombang pasang, penurunan muka tanah, dan kebakaran hutan dan lahan telah membuat banyak orang kehilangan tempat tinggal. Bahkan juga memakan banyak korban jiwa, merusak mata pencaharian nelayan, petani, masyarakat adat, juga melumpuhkan perekonomian lokal.
Difabel, perempuan, anak-anak dan lansia, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, petani kecil, dan nelayan tradisional menanggung beban yang jauh lebih berat karena kurang kemampuan dan dukungan untuk bertahan.
Baca Juga: BMKG Ikut Penelitian Laut Dalam Selama 16 Hari Bersama Ocean-X
“Aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim memberikan dampak bagi masyarakat dan lingkungan hidup,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono.
Tanpa Pelibatan Warga Terdampak
Faktanya, tahapan penyusunan dokumen NDC masih mendiskriminasi perempuan untuk dapat terlibat secara bermakna dalam seluruh tahapan perencanaan hingga monitoring adaptasi dan mitigasi iklim di Indonesia.
“Skema mitigasi masih lebih dikedepankan pemerintah Indonesia, dibandingkan skema adaptasi yang dibutuhkan perempuan untuk bertahan dalam situasi krisis iklim dan bencana,” ucap Ketua Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi.
Baca Juga: Kelompok Difabel di Klaten Dilibatkan Sebagai Relawan Tangguh Bencana
Padahal perempuan memiliki inisiatif dan pengetahuan lokal dalam merespon situasi krisis iklim di Indonesia. Proyek hilirisasi energi Geothermal, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang diklaim pemerintah sebagai transisi energi bersih justru menempatkan perempuan pada situasi berlapis akibat masifnya perampasan, penggusuran ruang hidup perempuan, hingga penghilangan pengetahuan dan kearifan lokal yang menciptakan berbagai ketimpangan dan feminisasi pemiskinan struktural bagi perempuan petani, nelayan dan perempuan adat.
Kemudian proses penyusunan NDC kedua tidak menunjukkan ada keberpihakan pada keadilan iklim bagi difabel yang merupakan warga rentan ini. Prinsip “No One Left Behind” dan “Nothing About Us Without Us” tidak terlihat, dan mungkin juga tidak dipahami dalam merepresentasikannya.
Padahal jumlah warga lansia dan difabel di Indonesia sekitar 50 juta orang dan di dunia hampir mendekati 2 miliar orang.
Baca Juga: Kelompok Difabel di Klaten Dilibatkan Sebagai Relawan Tangguh Bencana
“Sudah sepantasnya mereka terlibat di dalam seluruh proses pengambilan keputusan,” ujar Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia, Farhan Helmy yang sekaligus Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability.
Discussion about this post