Wanaloka.com – Kondisi ekologis di perairan Batu Beriga, Kepulauan Bangka Belitung terancam menyusul degradasi kronis di perairan Babel setiap tahunnya. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan luasan terumbu karang di Kepulauan Bangka Belitung yang sebelumnya mencapai 82.259,84 hektare pada 2015, kini tersisa 12.474,54 hektare berdasarkan analisa citra tahun 2017. Sementara luas karang berjumlah 5.270,31 hektare. Selain itu, mangrove telah hilang seluas 240.467,98 hektare dari data awal berjumlah 273.692,81 hektar.
Implikasinya, ekosistem laut yang terganggu mengakibatkan hilangnya mikrobiologi, organisme, dan sumber daya laut lainnya. Temuan di darat memperlihatkan kondisi kronis yang sama. Berdasarkan laporan IKPLHD pada 2021, hasil inventarisasi data kolong tambang oleh BPDASHL Baturusa-Cerucuk pada 2018, terdapat 12.607 kolong dengan total luasan mencapai 15.579,747 hektare.
“Kami bisa mempertimbangkan berbagai hal lain yang menjadi penyebabnya. Namun sulit tidak menunjuk industri penambangan timah sebagai kontributor utama kerusakan lingkungan, karena ekses negatifnya jelas di depan mata kami,” kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafidz pada 31 Oktober 2024.
Baca Juga: Setengah dari 8000 Ton Sampah per Hari di Jakarta Berupa Sisa Makanan
Gambaran kondisi terumbu karang dan mangrove itu menjelaskan bisnis pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung mengabaikan aspek ekologis. Problem mendasarnya adalah Negara membiarkan para pemilik modal tambang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan timah.
“Terutama melalui praktik pertambangan illegal. Tentunya terbebas dari kewajiban melakukan reklamasi lubang bekas tambang,” ucap Subhan.
Nilai konservasi tinggi di Batu Beriga
Sementara di semenanjung timur Pulau Bangka ada Desa Batu Beriga yang dihuni kelompok masyarakat etnis Melayu secara turun temurun. Mereka memiliki pola yang arif, seperti panteng-lareng dan taber laot. Juga metode memanfaatkan sumber daya alam berkelanjutan yang menjadi landasan utama bagi masyarakat dalam hubungannya dengan alam.
Baca Juga: Gamahumat, Ekstraksi Batu Bara Kalori Rendah untuk Soil Stabilizer
Di sana ada perairan Desa Batu Beriga, salah satu kawasan yang masih terjaga kelestariannya. Berdasarkan riset yang dilakukan Walhi Kepulauan Bangka Belitung, dari enam kategori kawasan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT), empat kategori NKT dimiliki perairan Batu Beriga.
Selain itu, perairan Batu Beriga menjadi rumah bagi keanekaragaman biota laut, seperti Penyu Hijau, Nautilus, Dugong, Hiu Pari, Ikan Napoleon, Lumba-lumba Hidung Botol, Kima serta Pari Manta. Adanya rencana aktivitas pertambangan di kawasan tersebut akan berdampak tidak hanya bagi masyarakat lokal dan adat istiadatnya, tetapi juga akan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang ada di kawasan tersebut.
Kerusakan ekologis Kepulauan Bangka Belitung mendasari masyarakat Batu Beriga bersama aliansi nelayan, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil di Bangka Belitung yang tergabung dalam Persatuan Masyarakat Peduli Batu Beriga menolak rencana penambangan yang akan dilakukan PT Timah.
Baca Juga: Kisah Para Penjaga Gunung Api Jelang Erupsi hingga Banjir Pascaerupsi
Perusahaan ini mengklaim telah mengantongi persyaratan yang diperlukan, seperti IUP Produksi dengan Nomor SK.541.16.3656/IUP-OP/DPE/2011 dengan luasan 5039,17 hektare; Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) No.17112310511900002 dengan luas 46,76 hektare dan kedalaman penggalian 13 meter; hingga Penetapan zona tambang di laut Batu Beriga melalui Perda RZWP3-K. IUP yang dikantonginya berlaku hingga 2025.
Atas dasar dokumen-dokumen ini, Perusahaan memaksa tetap beraktivitas di tengah gelombang penolakan masyarakat. Namun keabsahannya diragukan, karena sejak awal partisipasi aktif masyarakat Batu Beriga sebagai orang-orang yang terdampak disingkirkan. Mulai dari proses konsultasi publik penyusunan AMDAL, penetapan zona tambang di perairan laut Batu Beriga, serta terbitnya PKKPRL.
Padahal Pasal 4 huruf b Permen KP Nomor 12 Tahun 2024 menegaskan bahwa masyarakat terdampak mesti dilibatkan secara bermakna pada proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Adapun dalam cakupan partisipasi publik yang lebih luas, meliputi masyarakat rentan, masyarakat adat, dan pemerhati lingkungan.
Discussion about this post