Wanaloka.com – Tahun 2024 tercatat menjadi tahun terpanas dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55 °C di atas suhu era pra-industri (1850—1900). Anomali tersebut melampaui ambang (1,5°C) yang telah ditetapkan pada tahun 2015 dalam perjanjian Paris.
“Fakta ini adalah alarm keras bagi seluruh umat manusia,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati dalam pembukaan SLI Tematik di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Senin, 22 September 2025.
Di Indonesia, tahun 2024 juga tercatat sebagai tahun terpanas sejak pengamatan tahun 1981. Dengan suhu rata-rata 27,5 °C dan anomali 0,8 °C terhadap normal 1991—2020.
Baca juga: Diseminasi Liputan Kolaborasi Menyelamatkan Hutan Pulau Sipora
Kondisi bumi kekinian akibat perubahan iklim cukup mengkhawatirkan. Tidak hanya bencana yang secara intensitas dan durasi semakin bertambah, namun juga krisis air yang juga berimbas pada berbagai sektor kehidupan.
Salah satu yang terdampak adalah sektor pertanian dimana Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksi dunia akan mengalami ancaman krisis pangan pada tahun 2050 mendatang. Apabila manusia tidak berhasil mengendalikan kecepatan kenaikan suhu permukaan bumi atau memitigasi perubahan iklim tersebut.
“Kondisi ini dipicu kombinasi pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca serta anomali iklim regional. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi sektor pertanian yang sangat rentan terhadap iklim,” papar dia.
Baca juga: Proyek PSN Merauke Dinilai Bentuk Kebijakan Serakahnomics Era Pemerintahan Prabowo
Perlu langkah mitigasi untuk menghadapi ancaman perubahan iklim yang kian nyata. Salah satunya menggencarkan Sekolah Lapang Iklim (SLI), program yang membekali petani dengan pengetahuan dan pendampingan agar siap beradaptasi.
BMKG terus menggelar SLI di berbagai daerah di Indonesia. Melalui SLI, BMKG tidak hanya memberikan edukasi, tetapi juga langkah aksi adaptasi strategis. Petani diajarkan membaca dan memahami prediksi iklim, menyesuaikan pola tanam, memilih varietas sesuai kondisi musim, hingga mengoptimalkan teknik pemanenan air hujan. Dengan begitu, risiko gagal panen dapat ditekan.
“Karena perubahan iklim, saat ini titi mongso menjadi tidak relevan. Padahal petani di Indonesia terbiasa dengan titi mongso,” imbuh dia.
Baca juga: Menumbuhkan Cinta Lingkungan dalam Peringatan Hari Internasional Perdamaian
Lebih jauh, Dwikorita mengatakan, SLI merupakan upaya mencapai swasembada pangan, energi, dan air serta memperkuat pembangunan sumber daya manusia.







Discussion about this post