Wanaloka.com – Undang-Undang Keadilan Iklim dan Undang-Undang Masyarakat Adat dibutuhkan sebagai payung hukum spesifik melindungi perempuan adat dan perempuan pejuang lingkungan, juga memastikan akses yang setara terhadap sumber-sumber penghidupan, serta menjamin perlakuan yang adil di hadapan hukum.
Moriska Pasally dari WALHI Nasional mengemukakan, perempuan pejuang lingkungan dan perempuan adat menghadapi risiko berlapis. Mereka tidak hanya sering dipinggirkan dalam komunitasnya karena identitas gender, tetapi juga harus menghadapi dampak krisis iklim yang semakin parah serta konflik perampasan ruang hidup. Selain itu, mereka juga harus berhadapan dengan kebijakan negara yang kerap mengabaikan suara perempuan.
“Oleh karenanya, pengesahan UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan keadilan sosial dan ekologis bagi perempuan,” ujar Moriska.
Tema ini menjadi topik bahasan utama dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat sebagai Payung Hukum Perlindungan Hak-Hak Perempuan atas Wilayah dan Sumber-Sumber Penghidupan” yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.
Baca Juga: UU Masyarakat Adat adalah Janji Pilpres 2014 yang Belum Dipenuhi
Diskusi menghadirkan narasumber di antaranya, Maria M. M Kbar (Perempuan Mpur Kebar, Tambrauw Papua Barat Daya), Asmania (Perempuan Pejuang Pulau Pari), Fatum Ade (Perhimpunan Jiwa Sehat), Mia Siscawati (Ketua Program Studi Kajian Gender, Program Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik Global, Universitas Indonesia), Moriska Pasally (WALHI Nasional), Veni Siregar (Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat) dan Saffanah Rezky Azzahrah Andrian (Peneliti ICEL dan Perwakilan Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Iklim (ARUKI), dengan moderator Luluk Uliyah (MADANI Berkelanjutan).
Perempuan pejuang dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Asmania menceritakan bagaimana krisis iklim berdampak besar pada perempuan pesisir, termasuk perempuan di Pulau Pari yang menghadapi beban ganda.
Menurutnya, dulu laut memberikan penghidupan yang melimpah di Pulau Pari, kaya akan potensi budidaya rumput laut dan ikan kerapu dan ini berkembang pesat, hingga menjanjikan masa depan yang cerah. Namun, krisis iklim membuat nelayan semakin sulit melaut, jarak tangkap semakin jauh, dan situasi diperparah oleh keberadaan korporasi.
Saat warga berjuang menjaga wilayah pesisir dengan menanam mangrove, rumah dari beragam biota laut, korporasi justru datang dan membabatnya tanpa peduli.
Baca Juga: AMAN Desak Pemerintahan Prabowo Sahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 Hari Pertama
“Beban perempuan semakin berat, menghadapi krisis iklim sekaligus harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kami, perempuan Pulau Pari, harus berdaya, sehingga kami membentuk kelompok yang dikelola oleh perempuan nelayan untuk menjaga dan melindungi pulau kami, karena laut adalah ibu kami, merusaknya sama dengan menyakiti perempuan,” ungkap Asmania.
Peneliti ICEL dan perwakilan ARUKI (Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim), Saffanah mengutarakan, krisis iklim tidak berdampak pada semua orang secara setara. Perempuan dan anak perempuan acap kali mengalami dampak yang tidak proporsional dari perubahan iklim.
“Belum ada regulasi yang mengatur secara khusus mengenai perubahan iklim sehingga menimbulkan terjadinya kekosongan hukum. Kondisi ini berdampak pada perlindungan hak perempuan adat dalam konteks perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan RUU Keadilan Iklim untuk memberikan perlindungan yang layak kepada masyarakat rentan yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Kami (ARUKI) meminta Pemerintah dan DPR untuk serius dalam merancang RUU Keadilan Iklim yang melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok rentan, termasuk perempuan adat,” kata Saffanah.
Discussion about this post