Wanaloka.com – Pertengahan Mei 2023 lalu, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. PP tersebut dinilai Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional dan 28 Eksekutif Daerah Walhi se-Indonesia menggambarkan wajah asli Pemerintah Indonesia yang gemar berburu keuntungan ekonomi jangka pendek. Namun mengorbankan kelestarian pesisir, laut, dan pulau kecil dalam jangka panjang.
“Jokowi telah menerbitkan aturan yang akan melanggengkan krisis ekologis, terutama di kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil,” demikian pernyataan Walhi dalam siaran pers tertanggal 31 Mei 2023.
Aturan tersebut senyampang dengan aturan-aturan lain yang telah diterbitkan yang berpotensi merusak lingkungan. Seperti UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta UU 26 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Baca Juga: Inggris akan Investasi Industri Baterai Listrik di Bantaeng Sulawesi
PP tersebut juga membuka topeng pemerintah Indonesia yang selama ini selalu menyampaikan komitmen di berbagai forum internasional untuk menjaga kesehatan dan keselamatan laut Indonesia. Bahwa patut diduga komitmen di forum internasional itu hanya narasi indah di atas podium semata.
Dalam catatan Walhi, penerbitan PP tersebut merupakan langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia. Termasuk perlindungan wilayah tangkap nelayan yang merupakan produsen pangan laut utama di Indonesia.
Ancaman Krisis Iklim di Pesisir
Saat ini, masyarakat pesisir di Indonesia sedang berhadapan dengan ancaman dampak buruk krisis iklim berupa desa-desa pesisir yang tenggelam. Termasuk pulau-pulau kecil di Indonesia yang tenggelam akibat kenaikan air laut. Tren global kenaikan air laut adalah 0,8–1 meter.
Baca Juga: Hatam 2023, Jatam: Industri Tambang Berkedok Transisi Energi Menguat
Walhi juga telah menyampaikan informasi kepada masyarakat luas, bahwa sebanyak 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia dan 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam akibat kenaikan air laut pada masa mendatang. Artinya, penerapan PP tersebut mempercepat desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia teggelam.
Pengalaman di berbagai tempat yang didampingi Walhi menunjukkan tambang pasir laut memberikan dampak buruk. Di Kepulauan Seribu misalnya, telah ada enam pulau kecil tenggelam akibat ditambang untuk kepentingan reklamasi di Teluk Jakarta. Di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan, tambang pasir laut telah mengakibatkan air laut keruh. Banyak nelayan telah menjual perahu milik mereka untuk menyambung hidup karena ombak semakin meninggi.
Sebelum ada aktivitas tambang pasir laut, ketinggian ombak hanya mencapai sekitar satu meter. Usai penambangan ketinggian ombak hingga tiga meter. Nelayan juga kesulitan menghadapi arus ombak yang datang tanpa jeda, sehingga menyulitkan mereka mencari ikan di perairan tersebut. Perubahan arus ombak di sekitaran perairan yang telah ditambang dapat menimbulkan kecelakaan sesama nelayan dan menenggelamkan perahu saat melaut. Beberapa nelayan juga telah meninggalkan kampung halaman beserta istri dan anak untuk menyambung hidup.
Baca Juga: Gempa Dangkal di Pantai Barat Sumatera Dirasakan hingga IV MMI
Di Pulau Rupat Riau, tambang pasir laut telah mempercepat abrasi kawasan pesisirnya serta membuat nelayan semakin sulit menangkap ikan. Di Lombok Timur, nelayan-nelayan yang terdampak tambang pasir laut untuk reklamasi Teluk Benoa, Bali, harus melaut sampai ke perairan Sumba.
“Artinya, penerbitan PP 26 Tahun 2023 akan memperburuk kehidupan masyarakat pesisir, terutama nelayan dan perempuan nelayan, serta semakin memiskinkan mereka,” tegas Walhi.
PP Bias Kepentingan Bisnis
Substansi PP 26 Tahun 2023 tersebut dinilai Walhi bias kepentingan bisnis. Pasal 9 ayat 2 disebutkan bahwa “Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut digunakan untuk: a. reklamasi di dalam negeri; b. pembangunan infrastruktur pemerintah; c. pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau d. ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Baca Juga: Peringati Hari Jamu 2023 dengan Menanam hingga Menyeduh Jamu
Pada Pasal 10 disebutkan bahwa “Pelaku Usaha yang akan melakukan pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut wajib memiliki Izin pemanfaatan pasir laut.” Selain itu, Pasal 20, disebutkan bahwa PP penambangan pasir laut ditujukan untuk mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang kelautan dan perikanan.
Discussion about this post