Kesebelas, pemerintah membiarkan praktik korupsi dan monopoli pangan oleh mafia pangan, akibat kebutuhan pangan nasional masih menggantungkan dirinya pada hasil impor. Kebijakan importasi pangan dilakukan sebagai alasan pemenuhan pangan nasional, padahal kebijakan kuota impor pangan adalah permainan bisnis tersendiri yang penuh kolusi dan korupsi di kalangan importir, pengusaha, jaringan mafia pangan dan pemerintah.
Baca Juga: Satu Tahun Tolak PSN Rempang Eco City, Warga Rempang Kembali Diintimidasi
Kebijakan Presiden selama ini sudah membanjiri pasar tradisional dengan produk luar negeri seperti beras sebanyak 7,26 juta ton, sayuran 5,56 juta ton, buah-buahan 4,24 juta ton, gula 35,70 juta ton bahkan garam yang mencapai 16.18 juta ton (BPN dan Kemendag, 2023). Liberalisasi impor pangan yang dikontrol mafia pangan ini telah melemahkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Jika terjadi krisis pangan global atau gangguan rantai pasok pangan internasional maka Indonesia berada di posisi sangat rentan untuk mengalami krisis pangan.
Keduabelas, pemerintah menghidupkan kembali aturan-aturan tanah dan praktik jahat pertanahan era kolonial yang telah dihapus oleh UUPA. Praktek kolonialisme baru juga dilakukan Joko Widodo dengan menghidupkan kembali praktik tanah partikelir melalui Hak Pengelolaan (HPL) dan cultuurstelsel (sistem tanam paksa) melalui kebijakan food estate.
Ketigabelas, pemerintah mengingkari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Paska UU Cipta Kerja disahkan sedikitnya 109 aturan terkait agraria-SDA sudah dikeluarkan pemerintah menggenapi kejahatan terhadap konstitusi dan UUPA. Telah terbukti akibat implementasi UUCK (KPA, 2023), terjadi konflik agraria dan perampasan tanah rakyat dimana-dimana.
Baca Juga: Gempa Dangkal Sesar Garsela M 5.0 Guncang Kabupaten Bandung dan Garut
Ratusan aturan tersebut juga semakin memperkuat sektoralisme, pro pengusaha dan tumpang tindih hukum agraria. Artinya UU Cipta Kerja terbukti gagal menyederhanakan atau memangkas regulasi. Pemerintahan Jokowi melakukan kejahatan agraria tersebut dengan menggunakan instrumen hukum dan melemahkan institusi demokrasi untuk memperkuat oligarki dan dinastinya.
Keempatbelas, pemerintah tidak pernah memulihkan lingkungan dari dampak buruk bisnis pemodal. Buktinya luas hutan yang dijadikan sawit dan tambang semakin luas tiap tahunnya. Kerusakan lingkungan terjadi di pusat-pusat bisnis para pengusaha terutama tambang, sawit dan kayu tanpa menuntut pertanggungjawaban para pemodal.
Ditambah dengan mitigasi krisis iklim tanpa keterlibatan masyarakat. Masyarakat yang akan menjadi korban krisis iklim mencapai 104 juta penduduk yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia (WALHI, 2024).
Baca Juga: Polistirena, Jenis Plastik yang Umum Dipakai Sekaligus Cemari Air dan Tanah
Kelimabelas, pemerintah melanggar UUPA dengan tetap mempraktekkan asas domein verklaring sehingga seolah negara menjadi pemilik tanah yang berlaku sewenang-wenang sehingga petani dan masyarakat adat di mata pemerintah dianggap tinggal menumpang di atas tanahnya sendiri. Bahkan pemerintah memelihara konflik agraria masyarakat dengan BUMN perkebunan dan klaim kawasan hutan negara, dan selalu bertindak represif kepada masyarakat yang mempertahankan tanahnya dari klaim hutan negara dan BUMN.
Padahal BUMN bobrok seperti PTPN dan Perhutani selain selalu merugi, selalu meminta penambahan modal negara. Sepanjang pemerintahannya, Presiden Joko Widodo tidak pernah meredistribusikan dan mengembalikan tanah petani dan masyarakat adat yang telah dirampas oleh PTPN dan Perhutani.
Tidak ada satu pun Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang berkonflik dengan PTPN dan Perhutani berhasil diselesaikan dan diredistibusikan kepada rakyat oleh Menteri ATR/BPN, Menteri Kehutanan dan Menteri BUMN. Padahal Presiden mengetahui hambatan yang dihadapi rakyat terkait konflik agraria PTPN-Perhutani.
Baca Juga: Hari Ozon Sedunia 2024, Pemerintah Klaim Turunkan HCFC 55 Persen Tahun 2023
Tidak ada koreksi dan penegakkan hukum terhadap praktik domeinverklaring kehutanan, manipulasi expired HGU dan tanah terlantar BUMN. Parahnya, Skema Perhutanan Sosial, Perkebunan Sosial/Distribusi Manfaat dan/atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan PTPN merupakan regulasi kontra-RA karena melanggengkan klaim sepihak negara atas tanah dan atas nama kawasan hutan.
Keenambelas, pemerintah telah menjauhkan nelayan dari cita-cita keadilan bahari. Layaknya tanah dan kekayaan alam di darat, laut, pesisir dan pulau kecil pun semakin diprivatisasi oleh pengusaha dan pemerintah. Akibatnya para nelayan tradisional kerap menjadi korban perampasan tanah demi bisnis tambang, hutan, sawit dan energi.
Pembiaran lainnya oleh Jokowi lainnya adalah ketimpangan ekonomi antara Nelayan dan buruh kapal dengan pemodal dibiarkan tanpa ada intervensi pemerintah. Mereka selalu menerima sebagian kecil hasil perikanan ketimbang para pengusaha/pemilik kapal. Di waktu bersamaan 2,4 juta nelayan tradisional dipaksa berebut kuota penangkapan ikan dengan kapal-kapal besar dalam kebijakan perikanan terukur (BPS, 2024).
Baca Juga: Gempa Berau M5.5 Dipicu Sesar Sangkulirang yang Pernah Terjadi 1921
Ketujuhbelas, pemerintah telah mengabaikan hak perempuan atas tanah dan kesehatan mereka dengan tidak memasukkan keadilan gender dalam kebijakan Reforma Agraria sebagaimana mandat UUPA. Banyak perempuan yang bertani dan bekerja di sektor pertanian, namun banyak yang tidak memiliki akses terhadap kepemilikan tanah.
Ketidakadilan ini melanggengkan kemiskinan perempuan di pedesaan dan memperburuk ketimpangan ekonomi. Selain itu, penggunaan pestisida berbahaya yang banyak diterapkan di sektor pertanian telah menyebabkan berbagai masalah kesehatan, khususnya bagi perempuan. Dampaknya mencakup gangguan reproduksi seperti infertilitas, kelahiran prematur, dan keguguran, yang membahayakan keberlangsungan hidup perempuan dan generasi mendatang.
Pemerintah tidak memiliki kebijakan yang tegas untuk melarang penggunaan pestisida berbahaya atau memberikan akses perlindungan yang memadai bagi perempuan petani. Kebijakan agraria yang tidak memperhatikan keadilan gender ini merupakan bentuk diskriminasi sistematis yang harus dihentikan, dan Reforma Agraria Sejati harus mengutamakan pemberian hak atas tanah bagi perempuan serta perlindungan kesehatan mereka.
Baca Juga: Melihat Jejak Pembentukan Pulau Jawa di Karangsambung Kebumen
Kedelapanbelas, Rezim ini telah melanggar konstitusi tentang penghidupan yang layak dan pekerjaan yang layak. Hal ini dibuktikan dari serangkaian pelanggarannya melalui restrukturisasi kebijakan hukum ketenagakerjaan yang dibungkus dalam UU Cipta Kerja. Pokok-pokok isu dari undang-undang sapu jagad tersebut telah melemahkan kesejahteraan kaum buruh yaitu; upah murah, ketidakpastian bekerja (labor market flexibility), kemudahan PHK dan lainnya.
Di samping hal tersebut, kondisi kaum buruh di tengah momentum Hari Tani Nasional 2024 ini beririsan terhadap hak atas tanah tentang rumah yang layak bagi kaum buruh itu sendiri. Namun bukannya menyediakan dan menjamin hak atas tanah untuk rumah buruh justru negara memberikan program TAPERA bagi kaum buruh yang berseberangan terhadap keinginan kaum buruh indonesia. Artinya, Negara di bawah rezim Presiden Jokowi dinilai gagal menjamin hak-hak dasar bagi kaum buruh dan juga kaum tani.
Berdasarkan 18 kejahatan agraria Pemerintahan Joko Widodo di atas, Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah menuntut Presiden Jokowi mempertanggungjawabkan penyelewengan pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia beserta seluruh kejahatan agraria yang terjadi.
Baca Juga: Kementerian ESDM Klaim RUU EBET Atur Penyediaan Listrik Lebih Murah
Juga ada 10 Tuntutan Petani untuk mengatasi Darurat Agraria dan Darurat Demokrasi kepada Pemerintahan Prabowo ke depan:
Pertama, menjalankan reforma agraria sejati sesuai dengan UUD 1945 dan UUPA 1960 dengan melakukan redistribusi tanah kepada petani gurem, buruh tani dan perempuan petani, serta menyelesaikan seluruh konflik agraria struktural sebagai proses pemulihan hak-hak korban perampasan tanah dan penggusuran, selanjutnya Negara menjamin ketersediaan modal, pendidikan, teknologi tepat guna, benih, pupuk, infrastruktur pertanian dan pasar yang berkeadilan.
Kedua, melakukan reformasi kelembagaan untuk mendukung RA dengan menyatukan fungsi planologi kehutanan, tata ruang, geospasial dan pengadministrasian hak atas tanah baik di darat maupun pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam satu kementerian yang mengurus agraria-pertanahan. Sebagai pelaksana RA Presiden harus membentuk Dewan Pertimbangan Reforma Agraria Nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden, dengan pelibatan Organisasi Rakyat. Lembaga ini penting untuk memastikan bahwa RA benar-benar dijalankan sesuai tujuannya.
Baca Juga: Made Tri Ari Penia, Potensi Biomassa Indonesia dari Kakao, Singkong dan TKS
Ketiga, mencabut regulasi anti petani dan rakyat, yakni UU Cipta Kerja dan produk hukum turunannya yang terkait dengan Bank Tanah, Food Estate, PSN, IKN, KEK, KSPN, HPL, forest amnesty, KHDPK, dll., serta menghentikan segala jenis kejahatan agraria yang telah berlangsung, sehingga ke depan konstitusi dapat diselamatkan, demokrasi ditegakkan, dan reforma agraria sejati dapat diwujudkan;
Keempat, menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria serta RUU Masyarakat Adat sebagai penguat cita-cita UUPA, sekaligus landasan hukum bagi pelaksanaan redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, pengakuan wilayah adat, perombakan monopoli tanah, dan pembangunan pertanian, pangan serta pedesaan dalam kerangka Reforma Agraria.
Kelima, mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang, korupsi agraria dan mafia tanah serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses perumusan regulasi yang koruptif dan manipulatif yang berorientasi pada kepentingan bisnis dan PSN, yang telah merampas demokrasi, kebebasan, hak hidup dan hak atas tanah rakyat.
Baca Juga: Sampah Plastik dari Indonesia Berlayar Sampai Afrika
Keenam, menghentikan dan menghukum berat praktik para mafia impor pangan yang telah menghancurkan sendi-sendi produksi petani, nelayan, peternak dan petambak garam, serta melemahkan pemenuhan hak atas pangan bahkan kedaulatan pangan.
Ketujuh, membubarkan Badan Bank Tanah yang telah merampas tanah-tanah petani dan masyarakat adat dan telah membajak serta menyelewengkan tanah objek reforma agraria bagi rakyat, menjadi objek pengadaan tanah bagi para pengusaha.
Kedelapan, membebaskan Petani, Masyarakat Adat, Nelayan, Perempuan, Kaum Miskin Perkotaan dan Aktivis Agraria yang dipenjara serta dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas tanah, sekaligus menghentikan cara-cara kekerasan dan otoriter dalam penanganan konflik agraria.
Baca Juga: Deendarlianto, Kembangkan Penelitian Produk Hidrogen Hijau
Kesembilan, melindungi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan wilayah tangkap nelayan dari ancaman investasi yang merampas dan merusak lingkungan, demi keberlangsungan hidup kaum nelayan sebagai penghasil pangan khususnya ikan bagi segenap rakyat.
Kesepuluh, menghentikan food estate dan mengedepankan pembangunan pedesaan berbasiskan, pertanian pangan alami dan ekologis, peternakan dan perikanan yang berpusat pada kepentingan rakyat dalam kerangka RA Sejati, dimana pusat-pusat produksi dan industri milik petani dan nelayan dapat berkembang, saling terhubung dengan proses industrialisasi nasional yang mensejahterakan kaum buruh, sehingga hubungan desa-kota saling memperkuat.
“Patut dicatat, DPR RI dan seluruh partai partai politik yang masih berkuasa hari ini, maupun yang akan dilantik ke depan turut menanggung beban dosa bersama dan harus bertanggung jawab atas kejahatan dan kedaruratan agraria yang telah berdampak buruk pada sendi-sendi kehidupan kaum tani dan segenap rakyat Indonesia. Sepuluh tuntutan HTN 2024 adalah mandat dan tugas yang diberikan rakyat kepada DPR dan Presiden ke depan,” tegas Dewi. [WLC02]
Discussion about this post